Minggu, 22 April 2018

Ekonomi Moneter#


Tugas 2 (Softskill)



A.      Teori Tingkat Bunga

Pengertian Tingkat Bunga

Pada ekonomi yang mendasarkan pada mekanisme pasar, kuantitas barang dan jasa yang diprodusir ditentukan oleh pasar, yakni permintaan akan barang tersebut dipengaruhi konsumen. Mekanisme pasar berfungsi melalui harga. Harga mempunyai fungsi alokasi faktor produksi kearah produksi barang-barang yang lebih disukai oleh masyarakat dari produksi barang yang tidak disukai oleh masyarakat. Mencermati uraian tersebut, sebenarnya produsen (petani kopi) tidak mudah mengubah produksi dari teh ke kopi. Oleh karena itu produsen teh akan meminta harga yang lebih tinggi dan apabila konsumen mau membayar tentu saja mereka akan dapat memperoleh teh. Kenaikan harga ini dapat pula dipandang sebagai ongkos ganti penggunaan faktor produksi dari produksi kopi ke teh.

Kaitannya dengan tingkat bunga, pertanyaan timbul “apa peranan tingkat bunga?” seperti halnya harga kopi dan teh di atas tingkat bunga tidak lain adalah harga yang terjadi di pasar uang dan modal, jadi tingkat bunga juga mempunyai fungsi alokatif dalam perekonomian, khususnya dalam penggunaan uang atau modal.

Menurut Sukirno (1994:377), pembayaran atas modal yang dipinjam dari pihak lain dinamakan bunga. Bunga yang dinyatakan sebagai persentase dari modal dinamakan tingkat suku bunga. Berarti tingkat bunga adalah persentase pembayaran modal yang dipinjam dari lain pihak.

Menurut Boediono (1985:75): Tingkat bunga yaitu sebagai harga dari penggunaan uang untuk jangka waktu tertentu. Pengertian tingkat bunga sebagai harga ini bisa juga dinyatakan sebagai harga yang harus dibayar apabila terjadi pertukaran antara satu rupiah sekarang dan satu rupiah nanti.

Jadi tingkat suku bunga merupakan persentase dari modal yang dipinjam dari pihak luar atau tingkat keuntungan yang didapatkan oleh penabung di Bank atau tingkat biaya yang dikeluarkan oleh investor yang menanamkan dananya pada saham.


Fungsi Tingkat Suku Bunga dalam Perekonomian

Dua masalah pokok yang harus dipecahkan oleh setiap sistem ekonomi adalah;
  1. Berapa banyak faktor produksi yang harus digunakan untu menghasilkan beberapa barang yang berbeda pada waktu/saat yang bersamaan. Misalnya kayu jati gelondongan dapat dibuat kayu gergajian, meja, almari, atau kursi. Pada sistim ekonomi pasar alokasi penggunan kayu gelondongan tesebut ditentukan oleh harga meja, kursi atau kayu gergaji.
  2. Masalah alokasi penggunaan faktor produksi untuk menghasilkan barang yang akan digunakan sekarang atau di kemudian hari. Fungsi yang kedua inilah yang antara lain dilakukan oleh tingkat bunga. Yakni alokasi faktor produksi untuk menghasilkan barang dan jasa yang dipakai sekarang dan di kemudian hari.
Setiap masyarakat mempunyai kecenderungan untuk melakukan alokasi faktor produksi untuk penggunaan sekarang dan nanti. Hanya metodenya yang berbeda antara satu negara dengan negara lain. Ada yang mendasarkan alokasi ini pada tradisi (terutama untuk masyarakat yang belum maju), yakni dengan menyisihkan sebagian dari hasil yang diperoleh sekarang untuk penggunaan di waktu yang akan datang. Seperti yang dilakukan di Rusia, alokasi lebih banyak dilakukan oleh pemerintah. Tetapi dalam sistim ekonomi pasar (Amerika Serikat), alokasi antara sekarang dan nanti adalah hasil interaksi keputusan masing-masing individu.


Kurva Kesempatan Investasi

Kurva Kesempatan Investasi (The Investment – Opportunity Curve) adalah konsep untuk menjelaskan masalah alokasi antar waktu. Guna memudahkan memahami konsep ini, maka akan disampaikan alam bentuk contoh.

Misalkan suatu masyarakat yang hidup disekitar hutan jati, dan hanya ada satu jenis barang yag dihasilkan yaitu kayu gergajian. Apabila masyarakat tersebut semakin banyak menebang kayu jati di hutan tahun ini, maka makin sedikit kayu jati yang akan bisa ditebang di tahun yang akan datang.

Banyaknya kayu gergajian yang dihasilkan sekarang dengan tahun yang akan datang tidak satu banding satu. Artinya kalau tahun ini menghasilkan 10 kayu gergajian lebih banyak tidak berarti tahun depan produksi kayu gergajian turun dengan 10 buah. Masalah yang dihadapai oleh masyarakat tersebut adalah penentuan jumlah pohon yang ditebang tahun ini dan tahun depan. Dengan kata lain, masyarakat tersebut perlu menyelesaikan masalah alokasi antara jumlah produksi tahun ini dengan tahun depan.

Masalah alokasi tersebut dapat digambarkan dalam grafik sebagai berikut:
  1. Jika masyarakat menebang semua pohon dan digergaji tahun ini, maka tahun depan mereka tidak dapat menghasilkan kayu gergajian, yaitu pilihan pada titik A.
  2. Pilihan titik B, tahun ini tidak memproduksi sama sekali, dan berarti semua pohon diproduksi tahun depan.
  3. Pada titik C, sebagian dihasilkan tahun ini dan sebagian lagi tahun depan.
  4. Bentuk kurva cembung darititik nol, berarti berlaku anggapan bahwa hubungan turunnya produksi sekarang dengan naiknya produksi tahun depan tidak satu banding satu.
  5. Berdasarkan kurva di atass dapat disimpulkan, bahwa dengan tidak menebang pohon pada tahun ini (menabung) berarti melakukan investasi pohon untuk produksi tahun depan.


Gambar: Kurva Kesempatan Melakukan Investasi



Pilihan Waktu

Terdapat beberapa cara untuk memecahkan masalah pilihan waktu ini, yaitu melalui tradisi, keputusan pemerintah dan pilihan individu. Yang dimaksud dengan cara tradisi adalah masyakat melakukan pilhan atas dasar apa yang dipakai nenek moyangnya, tanpa adanya perubahan dan selalu berulang begitu seterusnya. Dengan cara ini masyarakat akan memilih misalnya pada titik C, menebang secukupnya tahun ini guna memperoleh kayu gergajian sebanyak 10 buah tahun depan, cara ini terus dipertahankan dari tahun ke tahun tanpa perubahan.

Pilihan yang didasarkan atas pilihan pemerintah secara sederhana dapat dijelaskan dengan contoh sebagai berikut. Seandainya pemerintah dapat diibaratkan sebagai seorang raja yang dapat menentukan berapa kayu gergajian yang dihasilkan tahun ini dan berapa tahun depan yang berlaku bagi sekelompok masyarakat. Bagaimana caranya si raja ini menentukan jumlah tersebut? Guna menjawab pertanyaan ini diperlukan suatu konsep apa yang disebut "kurva indifference pilihan waktu" dari si raja tersebut (persis sama dengan kurva indifference seorang konsumen) seperti gambar berikut:

Gambar: Kurva Indefference Pilihan Waktu


Kurva indifference mempunyai bentuk cembung ke titik nol, jadi kurva indifference (indifference curve) (IC) yang lebih tinggi, misalnya titik D, akan lebih disukai daripada di bawah kurva. (titik A, B dan C).  Keputusan pilihan waktu akan didasarkan pada prinsip kepuasan tertinggi dengan mengingat keterbatasan alat pemuas. Secara grafik dapat ditunjukkan dengan titik singgung antra kurva IC dengan kurva berbagai kesempatan investasi (titik E pada gambar berikut).

Gambar: Fungsi Alokasi dengan Keputusan Pemerintah

  1. Setiap individu memuliki IC sendiri. Sekelompok individu (konsumen) mungkin mau menunda sebagian penggunaan barang sekarang untuk memperoleh brang lebih banyak di kemudian hari. Sebaliknya kelompok lain (produsen) karena mengharapkan dapat melakukan investasi dari penundaan penggunaan barang sekarang yang jumlhnya lebih sedikit (10 buah kayu).
  2. Dari dua kelompok individu ini karena kesukaan mereka tidak sama, bahkan berbalikan maka timbullah semacam pasar (pinjam-meminjam). Dari contoh di atas, maka kelompok konsumen akan bersedia mengorbankan penggunaan barang sekarang sedang kelompok pengusaha justru mau menggunakan penggunaan barang sekarang dan bersedia mengganti dengan jumlah lebih banyak di kemudian hari. Dari proses ini lahirlah nilai tukar/harga, yang dalam hal ini dapat disebut sebagai tingkat bunga.

Nilai tukar atau tingkat bunga dapat digambarkan dalam gambar di bawah ini:

Gambar: Tingkat Bunga

  1. Garis lurus miring dari kiri atas ke kanan bawah menggambarkan tingkat bunga, yakni perbandingan/nilai tukar antara jumlah barang yang dapat dipakai sekarang dengan yang dapat dipakai di kemudian hari.
  2. Misal 10 buah kayu yang bisa dipakai tahun ini dapat ditukar dengan 11 buah kayu tahun depan. Nilai tukar, yang juga menggambarkan tingkat bunga, besarnya ditentukan oleh lereng garis tersebut.
  3. Makin datar berarti makin banyak barang tahun depan yang bisa diperoleh dengan sejumlah tertentu barang tahun ini, jadi tingkat bunganya makin tinggi.
  4. Sebaliknya makin tegak lurus garis, berarti makin rendah/kecil tingkat bunganya.
  5. Gerakan ke bawah sepanjang garis itu menunjukkan adanya tindakan memberi pinjaman. Sebaliknya gerakan ke atas menunjukkan adanya tindakan meminjam, karena menukarkan penggunaan barang kemudian hari yang jumlahnya lebih banyak dengan penggunaan barang sekarang yang jumlahnya lebih sedikit.
Melalui alat analisa di atas, maka masalah alokasi waktu bagi individu dapat dipecahkan. Pada prinsip persaingan setiap individu memiliki kurva kesempatan investasi dan kurva indifference serta adanya transaksi pinjam-meminjam. Berdasarkan anggapan tersebut, pemecahan masalah alokasi dapat dijelaskan dengan menggunakan contoh sebagai berikut.

Gambar: Alokasi Waktu

  1. Tanpa adanya pinjam meminjam, individu X akan memilih titik B, karena untuk kurva kesempatan investasi tertentu, dia sudah dapat kepuasan yang maksimum.
  2. Adanya mekanisme “pinjam-meminjam”, X dapat memilih produksi pada titik A dan meminjamkan kelebihan produksinya (jarak A dan B) pada tingkat bunga yang berlaku dipasar. Pada kemdian hari X dapat menggunakan kayu gergajian yang lebih banyak pada titik C. Posisi C, X lebih baik, karena berada pada IC yang lebih tinggi.
  3. Tanpa adanya transaksi pinjam meminjam, Y akan berad pada titik D dengan penggunaan barang dikemudian hari dalam jumlah lebih sedikit dari pada sekarang. Dengan adanya transaksi indivisu, Y akan berproduksi pada titik A dan akan meminjam. Dengan meminjam ini posisinya akan lebih baik yang ditunjukkan pada titik E, yang berada pada kurva IC lebih tinggi.
  4. Bagaimana diketahui bahwa jumlah yang dipinjamkan oleh X sama dengan jumlah yang dipinjam oleh Y?
    Harga/tingkat bunga yang menjamin kesamaan tersebut. Tingkat bunga akan naik apabila Y ingin pinjam lebih banyaj dan sebaliknya, apabila keinginan pinjam menurut tingkat bunga juga akan turun, dan dari sini dapat diketahui bahwa tingkat bunga merupakan pemecah masalah alokasi antara sekarang dan nanti.


Teori Klasik tentang Tingkat Bunga

Menurut Klasik, tabungan adalah fungsi dari tingkat bunga, makin tinggi tingkat bunga semakin tinggi pula keinginan masyarakat untuk menabung. Pada tingkat yang lebih tinggi, masyarakat akan terdorong untuk mengorbankan konsumsi untuk menambah tabungan. Demikian pula dengan investasi merupakan fungsi dari tingkat bunga, akan tetapi memiliki hubungan yang negatif.

Tingkat bunga dalam keadaaan keseimbangan (tidak ada dorongan untuk naik atau turun) akan tercapai apabila keinginan menabung masyarakat sama dengan keinginan pengusaha untuk melakukan investasi. Secara grafik, keseimbangan tingkat bunga dapat digambarkan seperti gambar dibawah ini:

Gambar: Teori Klasik tentang Tingkat Bunga



Teori Keynes tantang Tingkat Bunga

Keynes memiliki pandangan yang berbeda dengan klasik tentang tingkat bunga. Tingkat bunga ditentukan oleh permintaan dan penawaran uang (pada pasar uang). Uang merupakan alat portopolio yang bisa diwujudkan dalam bentuk UANG KAS dan SURAT BERHARGA.

Resiko dan gain surat berharga ditentukann oleh tingkat bunga "rata-rata" dari segala macam surat  berharga yang beredar di masyarakat. Permintaan uang oleh:

Gambar: Teori Keynes tentang Tingkat Bunga


Teori tingkat bunga Keynes memiliki hubungan yang negatif antara Tingkat Bunga Vs. Jumlah Uang.
  1. Terjadi spekulasi dalam fluktuasi tingkat bunga.
  2. Naiknya tingkat bunga e cost memegang uang kas naik e hasrat memegang uang kas turun e demikian pula sebaliknya.
  3. Pada tingkat bunga keseimbangan (req), keinginan memegang uang kas sama dengan Jumlah uang.
Bila tingkat bunga di bawah keseimbangan (r1), masyarakat menginginkan uang kas lebih banyak dengan menjual surat berharga, pada koordinat F. Penjual surat berharga ini mendorong harga ’surat berharga’ turun, sampai keadaan keseimbangan dimana keinginan memegang uang kas sama dengan JUB. Dan demikian pula sebaliknya.



B.    Tolak Ukur Stabilitas Rupiah

Setiap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah harus memiliki target dan ukuran keberhasilan. Hal ini penting, untuk mengukur atau sebagai acuan, apakah kebijakan tersebut berhasil atau tidak. Dalam perekonomian beberapa indkator yang biasanya digunakan untuk menilai kebijakan moneter adalah:
  1. Jumlah Uang Beredar (JUB)
  2. Laju inflasi yang cukup rendah terkendali
  3. Suku bunga pada tingkat yang wajar
  4. Nilai tukar rupiah yang realistis, dan
  5. Ekspektasi/harapan masyarakat terhadap moneter

Dari kelima indikator tersebut, hanya JUB yang tidak dapat dimonitor dan dirasakan lansung oleh masyarakat, sementara itu indikator nomor 2 sampai dengan 5, relatif dapat dilihat dan dirasakan langsung oleh masyarakat. Dengan alasan ini, berikut ini akan dijelaskan secara ringkas dari keempat indikator tersebut.

  • Laju Inflasi
    Bagi dunia perbankan laju inflasi yang tinggi akan menimbukan kesulitan bagi Bank untuk mengerahkan dana masyarakat, karena dengan inflasi yang tinggi tersebut, tingkat bunga riil (bunga nominal-inflasi) akan menurun, sehingga mengurangi keinginan masyarakat untuk menyimpan kekayaannya dalam produk-produk perbankan.

    Dampak selanjutnya adalah, bunga riil yang menurun bila dibandingkan tingkat bunga riil di luar negeri akan memicu larinya dana masyarakat ke luar negeri, karena dirasakan masyarakat lebih menguntungkan menyimpan dananya di luar negeri.   Kedua dampak inflasi diatas akan menyebabkan Perbankan kekurangan dana yang berasal dari masyarakat, dan ini berarti kemampuan Bank dalam menyediakan dana untuk investasi juga turut berkurang, akibatnya laju pertumbuhan produksi dan ekonomi juga akan melambat. Selain itu, inflasi yang tinggi juga akan memicu ketidakpastian dalam banyak aktivitas ekonomi masyarakat, khususnya dalam hal perencanaan dan operasional perusahaan, termasuk dalam perbankan.
  • Suku Bunga
    Selain yang telah sering dijelaskan sebelumnya, bahwa dari sisi masyarakat tingginya suku bunga memang akan menambah keinginan masyarakat untuk menyimpan dananya di bank, namun di sisi lain, tingginya suku bunga tersebut akan mengurangi niat dunia usaha untuk mengambil kredit bagi pengembangan usahanya. Akibatnya dana yang sudah terlajur masuk ke perbankan dengan adanya bunga tinggi tersebut, tidak dapat tersalurkan dan menimbulkan permasalahan baru bagi perbankan, yakni, Kemana dana masyarakat tersebut akan disalurkan? Apabila masalah ini tidak segera mendapat jalar keluar, maka perbankan terancam akan menghadapi masalah likuiditas dan tentu saja masalah penghasilan dari bunga yang seharusnya diperoleh.

    Dengan penjelasan yang sedikit berbeda, rendahnya tingkat bunga memang akan mendorong banyak pelaku dunia usaha untuk mengambil dana di perbankan, namun karena rendahnya tingkat bunga tersebut, apalagi bila dibandingkan dengan tingkat bunga di luar negeri; masyarakat akan lebih tertarik menyimpan dananya di perbankan luar negeri, sehingga perbankan dalam negeri akan kekurangan dana yang sedang dibutuhkan oleh dunia usaha. Dampak lebih jauh lagi adalah terhambatnya investasi yang terjadi di sektor industri karena kesulitan mendapatkan dana, sehingga produksi akan melambat.
  • Nilai Tukar Rupiah
    N
    ilai tukar yang stabil tentu akan lebih memberi iklim kepastian bagi semua pelaku usaha, termasuk sektor perbankan, dunia usaha dan masyarakat. Nilai tukar rupiah yang rendah saat ini dapat dijadikan saat yang baik dunia usaha yang beorientasi ekspor, dan ini dapat memicu peningkatan permintaan kredit dari dunia usaha untuk melanjutkan dan meningkatkan produk ekspornya. Dengan kejadian ini tentu akan menguntungkan dunia perbankan. Penyesuaian nilai tukar yang terlalu cepat akan sangat merugikan karena hal ini dapat mendorong bergeraknya aliran dana masyarakat ke luar negeri. Dengan demikian antara nilai tukar dan inikator kebijakan moneter lainnya memiliki hubungan yang sangat erat, khususnya bagi kebijakan pemerintah yang sedang ditempuh untuk menstabilkan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
  • Ekspektasi Masyarakat
    Meskipun lebih sulit untuk diukur, namun ekspektasi masyarakat mulai mendapat perhatian besar dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter di Indonesia. Ekspektasi umumnya terjadi melalui ekspektasi masyarakat terhadap tingkat inflasi dan ekspektasi terhadap nilai tukar. Ekspektasi masyarakat yang berlebihan terhadap besaran inflasi akan mendorong semakin tingginya harga-harga, sehingga akan mengurangi tingkat konsumsi dan daya saing produk dalam negeri yang akan ekspor. Sementara itu, ekspektasi masyarakat yang negatif terhadap nilai tukar akan berdampak pada menurunnya kepercayaan masyarakat pada mata uang rupiah, sehingga dapat memicu mengalirnya dana masyarakat keluar negeri. Apabila hal ini terjadi, maka seperti telah dijelaskan di bagian awal bab ini, maka perbankan akan kesulitan dalam menghimpun dana masyarakat yang sangat diperlukan untuk keperluan investasi dunia usaha.
Dengan penjelasan keempat indikator moneter tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa stabilitas dan pertumbuhan ekonomi Indonesia, sangatlah dipengaruhi oleh keempat indikator tersebut, sehingga kebijakan moneter yang ditempuh pemerintah akan hal itu, harus memberikan hasil yang baik, dalam arti terkendali, wajar, dan realistis.


C.    Strategi Kebijakan Moneter

Untuk mendapatkan indikator moneter seperti disyaratkan di atas, pemerintah yang dalam hal ini otoritas moneter, memerlukan stratei yang tepat dan sesuai dengan kondisi di Indonesia.
Secara umum, strategi moneter yang dapat dipilih antara lain adalah:

1. Strategi Kebijakan moneter longgar (Easy Monetary Policy) atau Strategi kebijakan moneter ketat (Tight Monetary Policy)

Kebijakan moneter longgar akan ditempuh untuk menggiatkan kembali perekonomian yang sedang lesu, dengan cara mempermudah dan menambah jumlah uang beredarm agar permintaan konsumsi naik >>> produksi naik. Namun demikian dalam perekonomian terbuka dan sistem devisa bebas, keijakan moneter yang longgar yang dapat menimbulkan dampak seperti gambar berikut ini:

Gambar: Dampak Kebijakan Moneter Longgar

Sementara itu, kebijakan moneter ketat akan memberi dampak sebaliknya, terutama dalam rangka meredam kenaikan harga atau inflasi yang berlebihan, sehingga tekanan terhadap neraca pembayaran berkurang karena produk dalam negeri kembali dapat bersaing, meskipun dengan kebijakan ini akan berdampak pula pada menurunnya pertumbuhan ekonomi, karena jumlah uang yang beredar dikurangi, yang berarti permintaan juga berkurang à produksi berkurang.

Sebuah dilema memang akan terjadi, tatkala perekonomian Indonesia menghadapi dua kondisi yang bersamaan, yakni lesunya ekonomi dan tertekannya neraca pembayaran atau melemahnya daya saing produk lokal. Penerapan kebijakan moneter longgar memang akan menyelamatkan ekonomi yang lesu, namun akan memperparah kondisi neraca pembayaran Indonesia…sementara penerapan kebijakan moneter ketat akan menyelamatkan neraca pembayaran dan manikkan daya saing, namun akan berdampak pada menurunnya/lesunya perekonomian. Kalau sudah demikian, kebijakan mana yang akan dipilih?

Dengan dilema tersebut, pemerintah kemudian memang dituntut untuk dapat meramu kebijakan yang paling pas dan menetapkan skala prioritas pemecahan masalhg yang ada, sehingga lesunya perekonomian dapat diatasi dan daya saing produk ekspor Indonesia juga membaik, dan ini memang bukan pekerjaan yang mudah.


2. Countercyclical Monetary Policy atau Accomodative Monetary Policy


Countercyclical Monetary Policy

Untuk memperlunak konjungtur/naik turunnya perekonomian, pemerintah perlu secara aktif malakukan intervensi di pasar uang, yakni dengan melakukan ekspansi moneter disaat perekonomian mengahadapi masa resesi dan melakukan konstraksi moneter saat perekonomian mengalami boom/laju yang terlalu cepat. Penjelasan ini dapat dilihat pada gambar berikut:



Gambar: Dampak Kebijakan Countercyclical


Lebih jelasnya, saat akan perekonomian cenderung mengalami resesi, maka pemerintah harus segera melaksanakan kebijakan moneter yang lebih ekspansif dengan tujuan meningkatkan jumlah uang beredar di masyarakat. Dengan demikian, hasrat masyarakat atau permintaan konsumsi masyarakat diharapkan akan meningkat, yang berarti akan memberi dorongan bagi dunia usaha untuk meningkatkan produksinya. Pada gilirannya, kondisi ini akan mendorong tumbuhnya ekonomi di Indonesia.

Sementara itu, di saat perekonomian mengalami boom, yang cenderung memicu naiknya harga-harga atau inflasi, pemerintah perlu segera menerapkan kebijakan moneter yang ketat, dengan tujuan memperlambat dan mengurangi tingkat konsumsi dan permintaan masyarakat, sehingga laju perekonomian dapat diperlambat.


Accomodative Monetary Policy

Pendapat kedua mengatakan, bahwa sebaiknya pemerintah menghindari intervensi untuk memperlunak konjungtur perekonomian yang terjadi, dan membiarkannya terjadi secara alami. Pendapat ini didasarkan pada pemikiran:
  1. Ekspektasi masyarakat dapat mengalahkan dampak dari variabel-variabel moneter lainnya. Dengan kata lain, masyarakat telah mengantisipasi setiap kebijakan yang akan diterapkan oleh masyarakat.
  2. Kebijakan pemerintah tidak dapat memberi dampak secara langsung dan segera. Sebagai contoh; kebijakan moneter longgar yang ekspansif yang diterapkan saat ekonomi lesu/resesi, tidak akan segera kelihatan dampaknya saat itu juga, namun butuh waktu dan itu dapat terjadi justru ketika perekonomian telah mencapai tahap boom. Begitu pula kebijakan moneter ketat/konstraksi yang diterapkan untuk mengatasi kondisi boom, baru akan terasa dampaknya justru saat ekonomi sedang resesi.

Akibatnya adalah, bukan masalah resesi dan boom yang teratasi, tetapi justru kedua kondisi ekonomi itu akan bertambah parah, seperti terlihat pada gambar berikut ini.

Gambar: Dampak Kebijakan Accomodative


Oleh karena itu, tidak bijaksana kalau pemerintah melakukan intervensi dengan kebijakan moneter saat terjadi resesi atau boom. Biarkan kedua kejadian itu berlangsung apa adanya. Kalaupun pemerintah akan membantu, lakukan dengan menyeimangkan jumlah uang beredar dengan kebutuhan saat itu.



D.    Efektifitas Kebijakan Moneter

Yang dimaksud dengan efektifitas kebijakan moneter adalah, sejauh mana kebijakan moneter yang ditempuh pemerintah (apapun bentuknya), memberi dampak positif bagi perekonomian dan masyarakat, dalam arti:
  • dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi
  • dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
  • dapat meningkatkan kesempatan kerja
  • dapat meningkatkan penerimaan devisa negara
  • serta memberi pengaruh pada kebijakan makro lainnya 
Teori yang membicarakan mengenai efektifitas kebijakan moneter ini diantaranya adalah:
  1. Teori Natural Rate Hypothesis, yang percaya bahwa kebijakan hanya akan efektif dan memberi dampak dalam jangka pendek saja, namun tidak akan efektif untuk jangka Panjang.
  2. Teori Rational Expectation Hypothesis, yang percaya bahwa baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, kebijakan moneter tidak akan efektif.
Untuk memberi pemahaman yang lebih baik menganai kedua teori tersebut, perhatikan contoh kasus berikut ini:
Dari kasus di atas,

Menurut teori Natural Rate Hypothesis, kebijakan ekspansif pemerintah tersebut dalam jangka pendek terbukti telah mampu menggairahkan perekonomian dengan meningkatkan konsumsi masyarakat yang berlanjut dengan meningkatnya produksi. Namun, dalam jangka panjang meningkatnya konsumsi dan kegiatan produksi yang meningkat tersebut secara berlahan akan kembali ke kondisi semula karena dalam jangka panjang kenaikan harga yang terjadi akan mulai memberatkan masyarakat sehingga cenderung akan mengurangi konsumsinya, terlebih lagi masyarakat/pekerja mulai menyadari bahwa upah riil mereka turun, dalam arti kenaikan upah riil yang mereka peroleh mulai tidak dapat mengimbangi kenaikan harga barang-barang yang mereka konsumsi.

Kalaupun kemudian mereka menuntut kenaikan upah yang lebih tinggi lagi, namun produsen akan mulai merasa keuntungannya berkurang, sehingga mengurangi keinginannya untuk memperluas atau menambah produksi, sehingga dalam jangka panjang kegiatan produksi danperekonomian akan kembali melemah seperti semula.

Sementara itu, menurut teori Rational Expectation Hypothesis, kesadaran masyarakat akan upah riil sudah muncul lebih awal, sehingga dalam jangka pendek pun kebijakan pemerintah yang ekspansif tersebut sudah tidak akan memberi dampak apa-apa. Teori ini percaya, bahwa masyarakat sejak awal sudah sadar bahwa upah riil mereka bahkan menurun meskipun secara nominal mengalami kenaikan, sehingga masyarakat/pekerja sejak awal sudah tidak bersedia menambah tawaran tenaga kerja mereka. Dengan demikian produsen juga tidak dapat menambah produksinya karena tidak berhasil membujuk masyarakat untuk bekerja lebih bayak lagi.

Kalau toh masyarakat bersedia bekerja lebih banyak, mereka akan menuntut kenaikan upah yang lebih tinggi lagi, dan ini berarti keuntungan produsen akan semakin berkurang sehingga produsen juga tidak tertarik lagi untuk menaikkan produksinya. Bila hal ini terjadi baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, pertumbuhan ekonomi tidak akan pernah terjadi.

Khusus pendapat dari teori Rational Expectation Hypothesis ini, masih terus terjadi diskusi yang mendalam mengenai tidak adanya dampak dari kebijakan pemerintah tersebut. Pendapat yang pertama tidak percaya bahwa masyarakat akan begitu pandai dan telitinya akan perubahan dan perkembangan perekonomian akibat kebijakan pemerintah tersebut, sehingga sebelumnya telah mengantisipasi setiap kebijakan pemerintah yang ada.

Pendapat lainnya sangat percaya bahwa masyarakat, melalui teknologi, berbagai media yang ada, serta dengan semakin meratanya ilmu pengetahuan, akan dengan sangat cepat dapat memahami apa yang akan terjadi dengan kebijakan pemerintah, sehingga masyarakat akan melakukan antisipasi sejak awal terhadap dampak kebijakan pemerintah tersebut. Dengan demikian dampak yang diharapkan terjadi oleh pemerintah lebih sering gagal, karena telah tahu dan mengantisipasi sebelumnya.


Keterkaitan kebijakan moneter dengan kebijakan makro lainnya

Yang perlu diketahui, bahwa dalam perekonomian sebuah negara, kebijakan moneter merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan kebijakankebijakan makro pemerintah lainnya, seperti kebijakan fiskal, kebijakan ekonomi luar negeri, maupun kebijakan sektor riil lainnya.

Dengan demikian apapun pilihan kebijakan moneter yang ditempuh haruslah memiliki keterkaitan dan mendukung sasaran dan tujuan dari kebijakan ekonomi makro lainnya, sehingga secara bersama dapat memberikan dampak yang positif bagi kesejahteraan masyarakat.

Sebagai contoh, kebijakan moneter yang ekspansif memang akan mendorong pertumbuhan ekonomi di satu sisi, namun di sisi lainnya, kebijakan ini akan menyebabkan kenaikan harga-harga (inflasi), sehingga akan memberatkan neraca pembayaran luar negeri karena produk dalam negeri akan kehilangan daya saingnya di pasar luar negeri, yang berakibat menurunnya penerimaan devisa negara. Oleh karena itu perlu diimbangi kebijakan sektor luar negeri kondusif yang dapat mengatasi hal tersebut, seperti misalnya dengan memberi kemudahan ekspor dan intensi ekspor lainnya.

Begitu pula dengan kebijakan moneter ketat yang ditempuh untuk tujuan menurunkan tingkat inflasi, akan memberi dampak negatif pada sektor riil dalam meningkatkan produksinya. Dalam kasus ini, diperlukan dukungan kebijakan ekonomi makro lainnya agar produksi tetap dapat ditingkatkan. Kebijakan ekonomi makro lain yang perlu dilakukan diantaranya dengan memberikan insentif atau keringan pajak bagi produsen, atau dengan insentif-insentif lainnya seperti penetapan harga khusus untuk bahan bakar industri dan kebijakan kemudahan perijinan usaha misalnya.

Dengan dukungan berbagai kebijakan makro lainnya tersebut, kebijakan moneter yang dijalankan pemerintah akan dapat mencapai sasaran dan dapat diminimalkan dampak negatifnya. Oleh karena itu diperlukan sebuah ramuan dari berbagai kebijakan moneter dan kebijakan makro lainnya, sedemikian rupa, agar berbagai kebijakan tersebut tidak saling bertentangan dan justru saling melengkapi dan mendukung keberhasilannya, dalam arti jangan sampai yang terjadi adalah:
  • Harga-harga semakin naik
  • Daya saing produk dalam negeri semkain menurun
  • Devisa negara semakin berkurang
  • Nilai tukar rupiah semakin melemah
  • Daya beli masyarakat semakin lemah
  • Produksi nasional semkain berkurang
  • Pengangguran semakin meningkat
  • Perekonomian semakin lesu, dan
  • Kesejahteraan masyarakat semakin memburuk

Pengaruh faktor ekternal (Luar Negeri) Terhadap Kebijakan Moneter Indonesia

Saat ini, tidak ada satupun negara yang dapat hidup dan bertahan tanpa berhubungan dengan negara yang lainnya. Alasan utamanya adalah bahwa suatu negara tidak dapat memenuhi semua kebutuhannya sendiri karena tidak setiap sumber daya yang dibutuhkan, ada dan dimiliki di negara tersebut.

Sebagai contoh, tidak setiap negara memiliki tambang minya, sehingga membutuhkan minyak dari negara penghasil minyak untuk memenuhi kebutuhan minyak di negara tersebut. Begitu pula negara penghasil minyak (Negara-negara Arab dan Timur Tengah isalnya), tidak memiliki produk-produk pertanian sehingga perlu mengekspor dari negara agraris lainnya. Demikian seterusnya.

Atas dasar itulah ketergantungan suatu negara terhadap negara lainnya selalu ada, meskipun dengan nilai intensitas yang tidak sama, tergantung dari seberapa maju aktivitas ekonomi negara tersebut. Sebagai contoh negara Amerika memang telah sangat maju dan besar transaksi ekonoinya sehingga dalam beberpa hal seperti nilai tukar dan tingkat bunga misalnya, secara umum menjadi acuan bagi negara-negara lainnya, termasuk oleh Indonesia.












Sumber:

arisbudi.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/.../Bab+5_Efektifitas+Kebijakan+Moneter.pdf